MENGAPA BANYAK ORANG
BANGGA MENEKAN HARGA PADA PEDAGANG KECIL?
Beberapa waktu lalu saya
mengunjungi Pak Ujang (65 tahun), pemilik kios ikan kecil di bilangan Jakarta
Pusat. Saya sering ke sana. Kiosnya sangat sederhana, berupa papan kecil
seluas 2,5 x 4 meter. Beliau sudah lebih dari 30 tahun berjualan ikan di
sana. Di sudut kanan toko terdapat sebuah tangga menuju lantai dua. Lantai
yang memiliki tinggi 1 m merupakan tempat tinggal Pak Ujang dan istri.
Tepat saat saya
berkunjung, muncullah seorang pembeli yang menggunakan mobil mewah brand
Jerman. Awalnya Si Pembeli membeli makanan ikan seharga Rp 5.000,- Ia pun
berusaha keras menawar. Akhirnya Pak Ujang sepakat menjual Rp 9.000,- per dua
bungkus.
Si Pembeli kemudian
melihat ikan koi tiga warna berukuran sekitar 30 cm. Pak Ujang menjual dengan
harga Rp. 40.000,- per ekor. Terjadilah tawar-menawar.
Si pembeli terus memaksa
ingin memiliki ikan tersebut dengan harga Rp 25.000,-. Katanya, ikan begitu
tidak layak dihargai Rp 40.000,- Pak Ujang terlihat sangat keberatan
menjual ikan tersebut di bawah Rp 35.000,-. Namun, saya sendiri menyaksikan
betapa kerasnya si pembeli menawar dan memaksa. Akhirnya Pak Ujang pun luluh
dan menjual empat ekor dengan harga yang diinginkan pembeli. ”Ikan ini sudah
hampir 1 bulan tidak laku,” Jawabnya setelah saya menanyakan alasannya menjual.
Si Pembeli kembali
membeli tanaman air yang harusnya berharga Rp 5.000,- per buah. Begitu gigihnya
mendapat 4 buah dengan uang Rp 10.000,-, sampai-sampai Si Pembeli memasukkan
sendiri dua tanaman air tambahan ke plastik. Tidak berhenti sampai di
sana, saat hendak membayar, dia pembeli kembali meminta dua ekor ikan kecil
seharga Rp 5.000,- per ekor untuk mainan anaknya. Dan Pak Ujang akhirnya
memberikan.
Saya merenung. Banyak
orang sering sekali berhemat setiap keping rupiah dari si miskin. Mereka sering
mengganggap harga barang dari seorang pedagang kecil atau pasar tradisional
tidak pantas dan menawar serta puas karena bisa berhemat setidaknya Rp 500,-
Kemudian mereka berjalan
ke mall dan tidak bertanya kepantasan dari harga secangkir kopi Rp 60.000,-
atau semangkok bakso Rp. 40.000,- Mereka bahkan membeli dengan bangga dan
malu bila menawar.
Mereka menawar dari
tukang becak yang harus mengayuh sepeda dengan berat, tetapi tidak pernah
memprotes argo taksi yang bergerak tak terkendali.
Setelah itu, mereka akan
bicara tentang pengentasan
kemiskinan.
Mereka salahkan pemerintah
atas data-data kemiskinan yang tidak pernah turun. Padahal di balik itu,
mereka mengeksploitasi Si Miskin. Mereka berusaha berhemat setiap keping
rupiah dari Si Miskin yang bekerja lebih keras, lebih berat, dan panas untuk
memberi makan keluarganya. Namun, mereka menghabiskan uang yang jauh lebih
banyak di mall tanpa menanyakan kepantasannya.
Dan sadar ataupun
tidak.. mereka adalah kita..
sumber: anonim
sumber: anonim
Bijaklah dalam berkomentar.
EmoticonEmoticon